aku mencintainya.
begitu saja. entah kapan mulamulanya.
secepat angin menerbang dedaunan kering saat musim hujan berganti kemarau.
dulu, aku memaknai cinta sebagai sebuah rasa yang datang karena ketertarikan. fisik umpamanya. lalu ada pula pada suatu masa ketika aku merasa jatuh cinta pada seorang lelaki karena kenyamanan saat begitu sering menghabiskan waktuwaktu bersama. tetapi itu biasa. saat beberapa jenak menandai hari tanpa dirinya, menakjubkan menyaksikan cinta itu pergi pula bersamasama.
aku mencintai lelaki itu.
begitu saja mulanya tak terkendali.
tak seperti lampu lalulintas yang bisa setiap beberapa detik sekali berubah warnanya.
dulunya, aku mengira cinta pun bisa diatur kapan naik dan turun frekuensi gelombangnya, rindu tak rindu, basabasi ketika bosan bertemu. nyatanya tak seperti itu.
aku mencintai lelaki dengan mata coklat muda itu yang ketika hanya memandangku pun aku tau bahwa ia sangat mencintaiku.
mulanya kami tak mampu menahan diri untuk selalu bertemu. oh ya, tentu saja kesibukan kami berbeda, belum lagi jarak dan waktu seperti musuh setiap harinya.
dulu, aku tak pernah ingin percaya bahkan mencoba bahwa cinta tak terhalang jarak dan waktu meski berjutajuta tahun cahaya. rindu mengikat pita cinta itu menjadi lebih kokoh dan syahdu.
aku mencintai lelaki bermata coklat muda itu dengan rambut ikal yang sering kubenam jemariku berlamalama saat ia mencumbu. mulanya aku tak berani berpikir akan seberapa banyak waktu boleh kureguk bersamanya.
sempit, sedikit, sulit.
cinta seperti apakah yang bisa bertahan pada cuaca ini?
“cinta kita” katamu tanpa jeda menatapku.
aku mencintai lelaki itu.
dengan mata berwarna coklat muda.
dengan ikalan rambut dan ilalang jambangnya.
dengan jarak melebar yang menyiksa.
aku mencintainya.
begitu saja.