Setiap detak waktu adalah temanku, setiap butir debu menjadi penghias kulitku. Di sini setelah sepoi angin pagi kemudian berganti dengan terik matahari kau pun belum juga memperlihatkan diri.
Aku tak gelisah. Hanya sedikit ragu dengan gerak-gerik pelayan kedai kopi yang terus memerhatikan diriku. Sepertinya mereka mulai tak sabar menanti aku mengakhiri kunjunganku di sini. Padahal sudah 2 cangkir coklat panas dan 1 cangkir kopi yang kupesan. Ya sih aku tak memesan camilan apapun toh kupikir aku sedang tak ingin makan. Bagaimana aku bisa makan sementara getaran sayap kupu-kupu di perutku tak pernah henti setiap kali mengingatmu.
Apa yang membuat perjumpaan kita begitu sulit terlaksana?
Entah waktumu, waktuku atau masing-masing dari orang-orang di sekeliling kita? Kemarin kau pun berusaha menungguku di menara prima berharap aku memang memenuhi jadwal pertemuan degan beberapa klien di sana dan kau bisa mencuri waktu sebentar dari jam makan siangmu untukku. lalu aku sampai tak sesuai jadwal dan kita berselisih jalan. dan lagi kita pun harus kembali bersabar menanti waktu bertemu.
Hari ini, aku menunggumu. Ada sedikit perasaan ingin menyerah, namun kerinduan bertemu senyummu lebih dominan. Apalagi jika mengingat kedua lenganmu yang akan begitu erat memelukku. Sesuatu yang hangat berderap di dadaku.
Aku tak berusaha bertanya kau akan tiba jam berapa. Kita selalu saling percaya bahwa waktu akan mempertemukan kita demikian juga saat ini.
Orang-orang mulai berdatangan, sepertinya hari menjelang petang. Kau belum muncul juga. Apa yang menahan langkahmu di sana?
Aku menyusun kata-kata sebelum menyentuh tombol “send” di gadgetku saat sepasang sepatu berhenti dekat sekali pada jarak pandangku.
Saat mendongakkan kepala, aku menemukan wajahmu di sana. Dengan sepasang mata yang salah tingkah kau tersenyum. Degupan jantungku entah berada di kecepatan berapa, jemarimu menyentuh pipiku.
“Maaf sayang, menungguku begitu lama.”
Tirai-tirai gelap itu membuka, aku melihat cahaya berpendaran di sekitar kita.