Bagian tiga
museum kereta api ambarawa, november 2004.
Awangga meletakkan ranselnya di bangku biru yang berderet-deret. Ia letih namun begitu bersemangat. Ia membetulkan letak kacamatanya yang berbingkai hitam, seketika ia ingat bahwa gadis yang saat ini sedang ditunggunya begitu menyukai caranya membetulkan letak kacamata. Hanya sesuatu yang tak begitu penting pun bagi dirinya terlihat menakjubkan. Awang tersenyum-senyum sendiri.
Perjalanannya kali ini tak sebentar. Dari jakarta ia belum pulas benar tidur karena semalaman mengerjakan tugas mata kuliah Biokimia. Namun demi sang gadis tercinta ia rela saja menemuinya di sini. Tempat ketika pertama kali ia menyatakan cinta pada sang gadis. Tempat yang begitu tenang dan menjadi sangat romantis karena momen itu.
Awang melayangkan pandang ke sekeliling, mencoba membunuh beberapa waktu yang harus ia lalui sendiri. gerbong-gerbong tua yang tak terpakai lagi. sudah berapakah umur mereka? dimanakah para masinis yang pernah membawa gerbong itu dulu? masih hidupkah? beberapa tanya menggelayuti pikirnya. Dan rasanya sudah hampir dua jam ia menanti sang gadis di sini. Mengapa belum tiba juga?
Awang meraih telepon genggamnya, menekan dua tuts saja untuk tersambung pada suara indah yang ia rindukan.
Tak tersambung.
Berulang-ulang.
Ia menatap resah ke gerbong terdekat yang ia lihat. Hatinya tersaput awan gelap.
Bagian empat
Ambarawa, November 2004
as long as i live i will love you
i promise you this
Narayana melangkah pelan-pelan sekali. Setelah memastikan Oma telah tertidur lagi selepas berdoa dan menyanyikan kidung pujian. Opa pastilah masih lelap tertidur. Nantinya bila mereka sadar cucu kesayangannya tak ada, Naray akan bilang bahwa ia ke gereja.
Narayana sudah seminggu ini berlibur di rumah Oma Opa nya di kota Ambarawa, tempat ini selalu mengembalikannya pada masa kecil yang indah. Papa dan Mama tak jarang mengijinkan Naray melewatkan beberapa waktu di rumah tua yang masih terawat dan resik. Bahkan tak melarang Naray membawa serta beberapa teman untuk menginap dan menikmati masakan Oma sembari mendengar sang Opa yang rajin menceritakan kisah-kisah sejarah dan kerajaan.
Tak terkecuali Awangga, sang kekasih yang akan ia temui pagi ini. Di tempat pertama mereka menyatukan cinta.
Naray tengah berbunga hatinya, ringan langkahnya, tersaput warna cerah pelangi. Bibir mungilnya menyenandung lagu cinta. Ia tak menyadari decitan ban dari mobil merah yang melaju begitu cepat ke arahnya. Seperti hilang kendali mobil itu mengempas di trotoar setelah sebelumnya menghempaskan tubuh mungil Naray ke bumi.
Langit basah mendatangkan tangis. Gulungan awan seketika mengelabu. Gelap pekat sekeliling pandang.