NEGERI AWANGGA

Bagian satu

Jakarta, November 2006

Dalam keriuhan lalu lalang manusia aku merasa kosong. Mereka seolah hanya kelebatan tubuh-tubuh kurus, sedang, gemuk, nampak berwajah cerah, hampir cerah dan gelap. Seperti mendung. Namun langkah mereka tak seperti gontaian kakiku, yang mengejar angin.

Mereka seperti mengejar sesuatu yang begitu cepat larinya, tergesa-gesa, udara terasa panas mengukung. Aku beranjak dari kediaman langkah. Setengah berlari menuju sebuah bangku kayu.
Angin melenakan beberapa helai daun di pojok parkiran sepeda motor tempat mahasiswa biasa bercengkrama dengan teman-temannya selepas kuliah. Tanah tak rata yang penuh kerikilan batu seketika lengang tak menyisakan helaiannya.

Di situ ada sekumpulan mahasiswa berdiskusi entah mata kuliah atau game seru terbaru, jangan-jangan mereka membahas bagaimana merayu mahasiswi edisi baru? Entah pula aku tak begitu ingin tau.
Yang berkacamata melambaikan tangannya sepertinya ke arahku.

Dengan sedikit kaku kutolehkan kepala ke kiri kanan dan tak menemu sosok lain yang mungkin ia tuju. Jadi ia melambai ke arahku? Tak mungkin rasanya.

Lihat, ternyata aku memang tak salah. Karena tak lama sesosok tubuh mungil yang kurus berlari ke arahnya, pasti mahasiswi ini yang ia maksud tadi. Hupfff mengapa aku begitu tak tau diri? Si kacamata tak mungkin melihat ke arahku sedetikpun bila telah ada si mungil di dekatnya. Mereka selalu bersama. Kemana saja.

Yang lainnya satu persatu mencari alasan memberi ruang buat si kacamata dan si mungil, Meninggalkan mereka berdua di bangku kayu bawah pohon. Si mungil menyandarkan kepala di bahu si kacamata. Pastilah kemanjaannya itu yang ia suka.

Aku terdiam menatap resah. Betapa kosong semakin lebar menggali hatiku.
Kapan kau tau aku ada di dekatmu? Rasanya tak mungkin. Aku tak nampak jika ku tak mau. Aku Narayana, salahkah bila begitu cinta padamu?

the edited post