Berhenti Mencintai

Entah sudah berapa lembar puisi yang kutulis untukmu. Sobekan kertas, beberapa liter tinta bolpoin terbuang pada curahan hati dan isi kepala kepadamu.

Mula-mula degup jantung begitu keras menatap dua mata bercahaya yang menanti penuh harap, bahkan notifikasi apapun yang masuk di telepon selular menjadi sumber debar halus yang mengguncang hariku.

Belum lagi sentuhan ujung-ujung jemarimu di kulitku. Tak butuh banyak kata rindu,  semua larut dalam satu bahasa, cinta.

Setahun, dua tahun, tiga kemudian kita tak bertatap muka, aku letih menempa diri untuk belajar melupakan rasa.

Ketika suatu hari debar itu tak terasa lagi. Kau akan sadar bahwa aku tak lagi membenci, namun berhenti mencintai.

 

Batam City Square, June 2017

 

Tiga Puluh Tahun (A Novel)

Agus menyeka keringat yang mengembun di ujung rambut Dewi. Dia cantik tertidur seperti ini. Lalu ia tersenyum mengingat apa yang mereka lakukan barusan.

Sebenarnya Agus sering merasa bersalah dengan apa yang ia lakukan. Pada istrinya karena ia menduakan Yunita, pada Dewi karena saat ini ia tak mampu memberikan kepastian hubungan. Terutama jika Dewi tau bahwa saat ini Yunita tengah mengandung bayinya tiga bulan. Apa ya yang akan ia katakan? Sementara hubungan mereka telah berjalan hampir dua tahun dan Agus dengan pasti mengatakan bahwa ia mencintai Dewi. Tapi ia pun mencintai Yunita? Bagaimana mungkin cinta bisa dibagi-bagi?

Ia ingin sekali menyampaikan kabar itu pada Dewi, tentang kehamilan istrinya. Kehamilan yang sebenarnya telah ia nantikan sejak empat tahun lalu. Namun baru tiba sekarang ketika ia terpesona oleh kehadiran Dewi, jatuh cinta pada perempuan cantik berkarakter kuat itu. Dewi bukanlah perempuan yang kecantikannya terlihat dari fisik, namun dari kecerdasan otak serta tingkah lakunya. Ia perempuan dengan karakter kuat. Dan itu membuat Agus jatuh cinta.

Terlambat bertemu? Sepertinya itu semacam alasan klise bagi mereka. Yang jelas mereka memang sudah bertemu sekarang dan tertarik satu sama lain. Lalu membiarkan ketertarikan itu mengontrol pikiran sehat mereka untuk melakukan sesuatu yang tidak bertanggung jawab. Sampai kapan? Ya, sampai kapan mereka berdua berada pada situasi seperti ini? Agus tak bisa bergerak, memilih Yunita kembali akan menyakiti hati Dewi dan hatinya juga, sementara ia pun tak mungkin memilih Dewi karena anak yang tengah dikandung Yunita.

Betapa rumitnya jalan hidup manusia, pikirnya.

Dewi menggeliat sedikit, matanya terbuka. Ia melihat Agus yang tersenyum memandanginya.

“Sudah sore sayang, aku harus segera pulang,” sahutnya. Ia menarik tubuh Dewi ke arahnya, mereka kembali berciuman.

“Sudah, kamu pulang aja sekarang.” Dewi mendorong tubuh Agus menjauhinya. Ia selalu merasa seperti ini ketika Agus akan pulang. Sedih karena sadar bahwa Agus bukanlah miliknya dan akan kembali ke pelukan istrinya.

Agus beranjak dari tempat tidur, menuju ke kamar mandi. Setelah merapikan diri ia pamit pada Dewi di ruang depan.

Meski selalu kecewa dan sedih saat berpisah, Dewi berusaha untuk tersenyum di hadapan Agus. Ia mengantar Agus sampai pintu depan saja, melambaikan tangannya saat mobil Agus meninggalkan pekarangan rumah, lalu menggeser pagar besi dan menguncinya.

Saat-saat seperti ini rasanya ia ingin menangis karena bahagia dan luka.

Ada berapa perempuan yang merasakan hal seperti diriku? Semoga hanya aku saja, sahutnya dalam hati.

***

 

Cuplikan dari novel Tiga Puluh Tahun-ku yang belum tau kapan terbitnya

Cinta yang Saling Menemukan

Ketika semua orang berada dalam gegap gempita perayaan dan renungan atau sekedar basa-basi tentang hari Kartini, aku sedang sibuk mondar-mandir penuh kecemasan menanti sembuhnya lelaki kecil yang paling kucintai diselingi dengan potong kue dan tiup lilin kakakku dan anaknya yang berulang tahun hari ini.

Sejak tiba di Medan hari jum’at tanggal 18 april kemarin itu yang merupakan hari ulang tahunku yang ke-37 (astaga udah tua yaaaa), aku cuma sempat mengunjungi salah satu store dan makan eskrim di fountain, lalu anakku jatuh sakit dan cukup serius sehingga sampai sekarang aku belum juga bisa tidur. Pas malam minggu itu panas tubuhnya sih masih dalam batas yang wajar dan aku nggak berhenti kasi kompres plus melek karena enrico nggak berhenti juga bolak-balik manggil mamanya. Yang serem ya malam seninnya karena panas tubuhnya sempat mencapai 40 derajat celcius, dan aku cuma bisa berdoa sambil terus nunggu pagi supaya bisa bawa dia ke dokter.

Pas memandangi wajah enrico yang imut dengan bibir merah dan telinga merah karena panasnya tinggi banget, aku sempat merasakan takut kehilangan seperti ketika aku kehilangan ibu dan ayahku (alm). Orang yang paling kucintai ini harus kujaga baik-baik. Memang sih anak itu cuma titipan Tuhan, tapi tentu semua ibu bercita-cita bisa melihat anaknya tumbuh besar sampai maut memisahkan, terus berada dekat dengannya dan mencintainya. Pinginnya bisa melihatnya sehat terus dan bahagia.

Cinta memang seperti itu.

Ingin selalu bersama-sama. Melihat yang dicintai bahagia, sehat dan penuh kegembiraan.

Cinta bukanlah dua orang yang selalu bersama namun saling meniadakan di dalam hatinya. CInta meski berjauhan jaraknya selalu akan bertemu pada gelombang yang sama.

Sebab itu aku begitu bersyukur karena bisa merasakan cinta dari orang-orang yang kucintai.

 

 

Pemilik Hati

Engga mengetuk-ngetukkan ketiga buku jari tangan kanannya pada novel DrachenReichter bersampul biru tua yang entah kapan akan selesai dibacanya. Seingatku sih ia telah memulai membaca buku itu sejak aku membeli sepatu coklat tua dengan hiasan bunga mawar merah di bagian kiri kanannya. Dan itu sudah sekitar enam bulan yang lalu. Sebegitu membosankannyakah isi buku itu sampai seorang Engga yang selalu haus dengan buku tak mampu menuntaskannya.

Namun mungkin juga keengganannya menyelesaikan buku itu adalah salah satu sebab dari kegelisahannya belakangan ini. Lihat saja ia bertampang putus asa sejak pagi ketika berangkat kerja dan dengan malas berpamitan padaku. Apa yang aku maksud dengan belakangan ini tidaklah sama dengan waktu ketika aku membeli sepatu bunga mawarku itu. Tidak. Ini lebih dari enam bulan yang lalu. Mungkin sudah lebih dari satu tahun. Sejak mengenal perempuan itu.

Aku tak bilang kalau aku tak mengenal perempuan itu, sebab akulah justru yang membawa Engga ke dalam kehidupannya. Atau mungkin aku yang membawa Lilian ke dalam kehidupan kami. Lilian sebenarnya bukan temanku secara langsung. Bukan teman sekolahku, teman kerjaku atau teman yang bertemu di gym tempat aku biasa latihan. Lilian itu temannya Edwin. Entah bagaimana caranya ketika di sebuah acara kantor Edwin mengenalkanku pada Lilian. Tentu saja saat itu aku hanya sekedar basa-basi beramah-tamah dengan beberapa orang yang harus disapa seperti biasa untuk urusan bisnis. Edwin pun pasti demikian. Sebagai atasanku tentu aku harus mampu beramah-tamah dengan teman-temannya.

Lalu pada suatu hari aku dan Engga menghadiri resepsi pernikahan anak Pak Bambang dari divisi lain. Dan di sanalah Lilian, dengan gaun putih sebetis dan beberapa asesoris perak yang melingkar di leher dan pergelangan tangannya. Ya, aku akui ia memang terlihat menarik dan entah kenapa aku harus bertemu dirinya saat bersama Engga. Aku telah membawa kehidupan rumah tanggaku ke dalam apa yang disebut drama pada tahap-tahap selanjutnya.

Aku tak menunjukkan reaksi apapun saat mengetahui bahwa Engga akhirnya berkomunikasi dengan Lilian melalui sms pada suatu hari sejak pertemuan kami dengannya telah lewat dua bulan. Dan Engga kemudian mengajakku nongkrong bareng dengan Lilian dan pacarnya. Laki-laki bernama Rama itu yang dengan tampang datar terus berada di sebelah Lilian, namun Enggalah yang sibuk mengobrol dengan mata berbinar-binar menatap Lilian.

Tatapan itu aku mengenalnya, bahkan binar yang terlihat lebih cemerlang daripada ketika Engga menunjukkan perhatiannya padaku saat pertama kami bertemu. Suamiku telah jatuh cinta lagi. Pada Lilian.

Ia pun menjadi sangat bersemangat saat bercerita tentang Lilian dan kegiatan-kegiatannya. Dan aku menanggapinya dengan suara dan ekspresi datar. Lalu Engga akan terlihat lebih bersemangat saat Lilian baru saja menelfon untuk alasan bisnis yang kebetulan telah menghubungkan mereka. Ia begitu penuh energi. Senyum yang begitu samar terpancar di wajahnya yang tampan.

Telepon genggamnya bergetar. Engga dengan sigap membuka notifikasi apapun itu yang ia terima. Aku melirik dengan ekor mataku dan menemukan ujung-ujung bibirnya tertarik ke atas.

Laki-laki ini begitu dekat denganku. Namun hatinya begitu jauh.

 

Untuk Sebuah Alasan Kita Dipertemukan

Entah itu persahabatan atau cinta yang datang belakangan.

Jam-jam mencatat begitu banyak pertemuan yang kita ciptakan. Pandang matamu tak pernah bertemu tatapku. Mula-mulanya. Aku mencari-cari pada setiap denting tawa yang kita bagi.

Dan suatu hari ketika tatap itu jatuh menyentuh, aku mengumpulkan binar-binarnya pada sebuah lengkung rasa yang meraksasa.

pada sebuah rasa yang sama-sama kita eja.

Cinta.

"berjumpa" sketch by tonosaur

“berjumpa” sketch by tonosaur