Tiga Puluh Tahun (A Novel)

Agus menyeka keringat yang mengembun di ujung rambut Dewi. Dia cantik tertidur seperti ini. Lalu ia tersenyum mengingat apa yang mereka lakukan barusan.

Sebenarnya Agus sering merasa bersalah dengan apa yang ia lakukan. Pada istrinya karena ia menduakan Yunita, pada Dewi karena saat ini ia tak mampu memberikan kepastian hubungan. Terutama jika Dewi tau bahwa saat ini Yunita tengah mengandung bayinya tiga bulan. Apa ya yang akan ia katakan? Sementara hubungan mereka telah berjalan hampir dua tahun dan Agus dengan pasti mengatakan bahwa ia mencintai Dewi. Tapi ia pun mencintai Yunita? Bagaimana mungkin cinta bisa dibagi-bagi?

Ia ingin sekali menyampaikan kabar itu pada Dewi, tentang kehamilan istrinya. Kehamilan yang sebenarnya telah ia nantikan sejak empat tahun lalu. Namun baru tiba sekarang ketika ia terpesona oleh kehadiran Dewi, jatuh cinta pada perempuan cantik berkarakter kuat itu. Dewi bukanlah perempuan yang kecantikannya terlihat dari fisik, namun dari kecerdasan otak serta tingkah lakunya. Ia perempuan dengan karakter kuat. Dan itu membuat Agus jatuh cinta.

Terlambat bertemu? Sepertinya itu semacam alasan klise bagi mereka. Yang jelas mereka memang sudah bertemu sekarang dan tertarik satu sama lain. Lalu membiarkan ketertarikan itu mengontrol pikiran sehat mereka untuk melakukan sesuatu yang tidak bertanggung jawab. Sampai kapan? Ya, sampai kapan mereka berdua berada pada situasi seperti ini? Agus tak bisa bergerak, memilih Yunita kembali akan menyakiti hati Dewi dan hatinya juga, sementara ia pun tak mungkin memilih Dewi karena anak yang tengah dikandung Yunita.

Betapa rumitnya jalan hidup manusia, pikirnya.

Dewi menggeliat sedikit, matanya terbuka. Ia melihat Agus yang tersenyum memandanginya.

“Sudah sore sayang, aku harus segera pulang,” sahutnya. Ia menarik tubuh Dewi ke arahnya, mereka kembali berciuman.

“Sudah, kamu pulang aja sekarang.” Dewi mendorong tubuh Agus menjauhinya. Ia selalu merasa seperti ini ketika Agus akan pulang. Sedih karena sadar bahwa Agus bukanlah miliknya dan akan kembali ke pelukan istrinya.

Agus beranjak dari tempat tidur, menuju ke kamar mandi. Setelah merapikan diri ia pamit pada Dewi di ruang depan.

Meski selalu kecewa dan sedih saat berpisah, Dewi berusaha untuk tersenyum di hadapan Agus. Ia mengantar Agus sampai pintu depan saja, melambaikan tangannya saat mobil Agus meninggalkan pekarangan rumah, lalu menggeser pagar besi dan menguncinya.

Saat-saat seperti ini rasanya ia ingin menangis karena bahagia dan luka.

Ada berapa perempuan yang merasakan hal seperti diriku? Semoga hanya aku saja, sahutnya dalam hati.

***

 

Cuplikan dari novel Tiga Puluh Tahun-ku yang belum tau kapan terbitnya

[Book Review]: Katarsis

17786536

Judul: Katarsis

Penulis: Anastasia Aemilia

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Cetakan: pertama, April 2013

Tebal: 261 halaman

Harga: Rp. 45,000

Tara, seorang gadis dari keluarga Johandi yang menjadi salah satu korban selamat pada perampokan dan pembunuhan sadis di rumah pamannya, Arif Johandi. Ia ditemukan dalam keadaan syok berat tersekap di dalam sebuah kotak perkakas kayu.

Korban lainnya adalah Bara Johandi ayah Tara, Sasi Johandi istri dari Arif Johandi. Sementara itu Moses Johandi yang merupakan anak laki-laki dari Arif dan Sasi ditemukan potongan tubuhnya sebagai korban mutilasi. Saat kejadian ditemukan dua orang yang dicurigai melakukan perampokan dan pembunuhan tersebut Martin dan Andita yang akhirnya ditangkap dan dipenjara.

Tara sejak kecil mengidap sebuah kelainan. Ia membenci nama Tara Johandi yang diberikan oleh kedua orang tuanya Bara dan Tari. Ia pun tak mau memanggil kedua orang tuanya dengan sebutan ayah dan ibu. Tari meninggal saat Tara masih kecil. Ia jatuh dari tangga pada sebuah kecelakaan yang disebabkan leh Tara dan Bara yang tak tahan dengan tingkah Tara yang dianggapnya keterlaluan nakal bahkan agak aneh, akhirnya menitipkan Tara di rumah adiknya Arif Johandi.

Keanehan yang dimiliki Tara tak hanya itu, ia pun mengidap ketergantungan terhadap sebuah koin lima rupiah yang selalu digenggamnya bahkan meninggalkan bekas lingkaran di telapak tangan. Ia mendapatkan koin itu dari seorang anak laki-laki yang ditemuinya di taman bermain. Menurut anak laki-laki itu, kalau sedang merasakan sakit maka ia harus memegang koin itu agar hilang sakitnya.

Keanehan-keanehan Tara menyebabkan Arif dan Sasi membawanya ke seorang psikiater yang membuat Tara mengenal Alfons. Psikiater muda ini dengan telaten melakukan terapi pada Tara dan menganggap bahwa keanehan yang dimiliki Tara hanyalah karena ketergantungannya pada koin lima rupiah itu.

Alfons membawa Tara ke rumah sakit jiwa setelah ia ditemukan dalam kotak perkakas kayu. Ia merawat Tara dan akhirnya membawanya pulang. Saat dalam masa terapi itu muncullah Ello yang ternyata adalah anak laki-laki kecil yang pernah memberikan koin lima rupiah pada Tara di masa lalu.

Sementara polisi menduga bahwa pembunuh sadis yang sebelumnya menyerang keluarga Johandi telah mereka penjarakan, bersama dengan kemunculan Ello ditemukan pula kasus pembunuhan berantai dengan korban yang disekap dalam kotak perkakas kayu dan koin lima rupiah.

Lalu siapakah pembunuh keluarga Johandi yang sebenarnya? Apakah Tara ada hubungannya dengan pembunuhan berantai yang melibatkan kotak perkakas kayu?

***

Gembira rasanya ketika menemukan penulis lokal yang mengangkat tema misteri-thriller karena tak banyak yang bisa menulis dengan tema ini. Tokoh Tara yang unik dan memiliki kelainan jiwa menjadi karakter kuat dalam alur cerita.

Pemaparan cerita dengan alur sangat menarik sehingga kita tak sabar untuk mengetahui siapa dalang di balik pembunuhan yang terjadi.

Namun yang agak kurang dipahami adalah mengapa sang pembunuh memilih kotak perkakas kayu sebagai tempat akhir untuk menyimpan korban-korbannya? Tidak ada latar belakang untuk masalah ini yang dijelaskan di akhir cerita.

[Book Review]: Kue-Kue Cinta

17315884

 

Title:  Kue-Kue Cinta

Started on: February 20th, 2013

Finished on: March 10th, 2013

Author: Fita Chakra & Wylvera W

Publisher: PT Penerbitan Pelangi Indonesia

Pages: 224 pages

Awang dan Nining adalah dua bersaudara yang terlahir dari keluarga yang sederhana dan cenderung pas-pasan. Ayah Awang bekerja sebagai karyawan honorer di kantor kelurahan tempat tinggal mereka sedangkan ibunya hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa yang setiap hari selalu memenuhi kewajibannya. Di rumah mereka yang kecil, ada Mpok Suminah yang telah ikut tinggal bersama mereka sejak Awang lahir, Mpok Suminah membantu keuangan keluarga itu dengan berjualan kue kecil-kecilan di sekitar rumah mereka.

Pada suatu hari ayah Awang terjangkit penyakit demam berdarah akibat lingkungan tempat tinggal mereka yang kotor, karena tak punya cukup uang untuk berobat dan kurangnya kesadaran tentang kesehatan akhirnya ayah mereka terlambat dibawa ke dokter dan akhirnya meninggal dunia. Saat itu Awang duduk di kelas 5 Sekolah Dasar dan Nining adiknya duduk di kelas 2. Saat ayah mereka masih ada dan berusaha mencari nafkah untuk mereka saja uang SPP sekolah Awang dan Nining sering menunggak, apalagi akhirnya ayah mereka telah tiada.

Ibu Awang sangat kebingungan karena ia tak punya pekerjaan, dengan ketiadaan suaminya otomatis ia harus menanggung kedua orang anaknya serta dirinya sendiri. Akhirnya ibu Awang memutuskan untuk berangkat ke negeri jiran Malaysia mengadukan nasibnya untuk bekerja sebagai TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di sana. Ibu menitipkan Awang dan Nining pada Mpok Suminah yang telah dianggapnya sebagai keluarganya sendiri dan berpesan bahwa ia akan mengirimkan uang hasil kerjanya setiap bulan pada anak-anaknya.

Setelah beberapa bulan kepergian ibunya ke Malaysia, Awang dan Nining serta Mpok Suminah tak pernah menerima kabar apapun dari ibunya apalagi kiriman uang. Sementara itu Mpok Suminah berusaha keras membiayai kehidupan mereka dengan terus berjualan kue bahkan menambah kegiatannya dengan menjadi buruh cuci. Karena ketidakmampuan mereka akhirnya Awang dan Nining dikeluarkan dari sekolah padahal mereka adalah anak-anak yang cerdas dan berprestasi namun mereka tak mampu membayar uang SPP yang merupakan syarat yang wajib mereka bayar.

Awang sempat merasa sedih dan putus asa, ia merasa ibunya telah melupakannya karena tak satu kabar pun pernah sampai ke tangan mereka dan ibu tak pernah mengirim uang untuk keperluan mereka. Namun Awang akhirnya bangkit dan bertekad menerima cobaan yang datang pada dirinya dan keluarganya, ia mulai ikut membantu Mpok Suminah mencari nafkah dengan menjadi pengamen bersama Nining untuk bisa mengumpulkan uang membayar tunggakan SPP sekolah. Mereka mendapatkan banyak rintangan meski mereka pun mampu mengumpulkan uang sedikit demi sedikit dari hasil pekerjaan tersebut. Menjadi pengamen tak semudah bernyanyi dan menadahkan tangan untuk mengumpulkan uang, Awang harus menghadapi preman-preman jalanan yang merasa daerah kekuasaannya telah diambil.

Bagaimana nasib Awang dan Nining selanjutnya? Apakah mereka akan terus menerus mengamen atau akhirnya akan kembali ke sekolah? Benarkah ibu Awang telah melupakan mereka dan tak akan kembali lagi?

***

Ketika memutuskan untuk membeli atau membaca sebuah buku, yang pertama kali aku perhatikan adalah penulisnya. Ada beberapa penulis yang setiap bukunya pasti akan kubaca apapun judulnya, itu karena sang penulis telah kukenal sebagai penulis yang memiliki kualitas tulisan yang mengagumkan.

Hal kedua yang menjadi sebab aku akan membaca sebuah buku adalah judul dan cover bukunya. Hal ini berlaku pada buku Kue-Kue Cinta yang ditulis mba Wylvera (yang ternyata orang Medan ini) dan Fita CHakra.

Buku ini sangat menarik, judulnya eyecatching, gambar di covernya menarik dan cantik warnanya. Itu merupakan nilai yang penting ketika sebuah buku terdisplay di toko buku maupun di online shop. Lalu selanjutnya tentu resume cerita yang terdapat di bagian belakang buku.

Ketika membaca ceritanya aku sangat senang karena sulit menemukan seorang anak yang gigih seperti Awang. Betapa beban penderitaan yang harus ia lalui begitu besar di usianya yang baru 9 tahun. Mungkin tak sedikit yang mengalami penderitaan semacam Awang tapi apakah mereka mampu berpikiran positif seperti Awang? Belum tentu.

Buku ini sangat baik diperkenalkan kepada generasi muda saat ini yang cenderung kurang gigih, ingin meraih kesuksesan dengan cara instan semudah menuliskan status di media sosial. Mereka butuh diajarkan bahwa keputusasaan dan penderitaan mereka tak lebih besar dari penderitaan orang lain. Bahwa setiap kegagalan atau musibah tak harus diikuti dengan kemarahan atau duka yang berlarut-larut.

Namun yang menjadi pertanyaan saya adalah, untuk genre apakah novel ini ditujukan? Apakah anak-anak (karena ceritanya cenderung berkisah di masa SD), remaja atau dewasa? Jika memang lebih ke genre anak sepertinya kisah cinta sang ibu di negeri jiran tak perlu terlalu diekspos namun dengan posisi Awang dan Nining yang masih SD buku ini seperti berada pada genre yang serba tanggung, untuk anak-anak tapi ada kisah cintanya, untuk remaja tapi kisahnya anak-anak, untuk dewasa terkesan agak membosankan.

Tapi tetap secara keseluruhan buku ini bercerita dengan sangat asik dan memberi harapan.

Tiga Perempuan

 

Title: Tiga Perempuan

Author: Julie

Cover: Julie, Arie Fabian, Kenan Fabian

Publisher: leutikaprio

Price: IDR 35,400

Elena, perempuan muda yang patah hati karena Rifan sang kekasih yang meninggalkannya begitu saja tanpa kabar. Ia mencoba melupakan Rifan dengan menyibukkan diri pada pekerjaan. Namun suatu hari ia kembali bertemu dengan lelaki itu saat ia merasa tengah jatuh cinta pada Elang. Siapa yang akan dipilihnya? Rifan, atau Elang?

Larasati, hidupnya keras sejak kecil. Ia lahir dari sebuah keluarga sederhana di desa dengan terus dibayang-bayangi sosok seorang adik yang dianggap lebih cantik. Karena seringnya menerima penghinaan, dengan penuh tekad ia mampu merubah diri menjadi perempuan cantik yang tegar dan berharta, namun ketika ia jatuh cinta pada sosok Elang, mampukah ia tetap mempertahankan harga diri dan menang dari penghinaan?

Erna yang berasal dari keluarga kaya di kampung tak mampu menolak nasib yang membuat ia harus menghadapi kerasnya hidup di ibukota. Meski terbiasa hidup dalam kemewahan dan tak pernah berpikir untuk jatuh cinta pada seorang Rifan yang sederhana, namun akhirnya ia tak mampu menolak perasaan itu.

Tiga orang perempuan yang datang dari kehidupan dengan latar belakang berbeda terlibat dalam kisah cinta yang memaksa mereka untuk saling bertemu.

***

Alhamdulillah, akhirnya buku ketigaku telah lahir dan ready to buy lho sekarang bisa di http://www.leutikaprio.com atau langsung pesan melalui aku juga boleh (tetep yee jualan :D). Pas pertama nulis novel ini sebenarnya gak ada ide apa-apa sih, cuma saat itu aku sedang terpikir untuk nulis tentang empowering women aja gitu dan mudah-mudahan isi buku ini memang sesuai dengan ide awalnya tapi kalo gak sesuai juga gak apa-apalah ya hehe.

Sebenarnya bisa melahirkan buku itu mungkin terasa biasa saja buat orang lain apalagi kalau dibandingkan dengan beberapa teman yang sudah menjadi penulis terkenal. Tapi kalo buat aku sendiri, menulis buku gak ada maksud sebagai untuk: 1. mencari ketenaran (karena setenar apapun seseorang itu hanya di mata manusia) 2. mencari uang (karena modalnya lumayan tapi untungnya malah dikit banget :D) tetapi lebih kepada hobi aja gitu.

Sampai hari ini sih yang membeli buku ini baru 30 orang, aku mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya karena telah bersedia membeli hasil karyaku. Bagi yang udah baca dengan senang hati menerima kritik dan sarannya ya woi 😀

 

Once Upon A Time

Saat aku kecil, baru saja mengenal dunia baca (sebelum sekolah) aku sering melihat kakak-kakakku membuat karangan. Karena ibu adalah guru bahasa Indonesia maka beliau sangat peduli dengan kata-kata dan kalimat. Tak jarang aku mendengar kalimat pembuka dari sebuah cerita atau karangan mereka adalah “Pada suatu hari atau pada suatu ketika”.

Kalimat pembuka ini yang menginspirasiku untuk menjuduli buku keduaku dengan “Pada Suatu Ketika”.

Pada Suatu Ketika
Penulis: Julie
diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
tebal: 100 halaman
harga: Rp. 34.000 (sebelum ongkos kirim)

Bagi yang berminat boleh memesan langsung di sini atau melalui email ke gerhanacoklat@gmail.com, atau melalui kolom komen di http://www.julie.blogdetik.com
Untuk 40 orang pemesan pertama melalui email dan blog julie berhadiah sebuah mug (tapi beda dengan mug gerhana coklat yang kemaren yaaa) 😀
Terima kasih untuk Yessi Greena, Ais Ariani, bunda Tuti Nunka, Idana, Hani, Arik, Depz, Aliva, Anny, Ella, Eyang Anjari, ARie dan Resti, MT, erlyn, fonni, retno putri, dan lainnya yang tak bisa disebutkan semua.