Kacamata Baru

Asli kok mau cerita kacamata beneran bukan kacamata boongan (lagi kacamata boongan itu yang mana ya?). Kan ceritanya aku ini sebenarnya harusnya (kebanyakan akhiran -nya) selalu menggunakan kacamata karena mataku minus dan silindris. Tapi karena setiap kali pake kacamata selalu terasa sakit di telingaku (karena terlalu kecil telinganya) jadilah sering-sering kali dilepas dan perasaan nggak enak gitu kalo seharian pake kacamata. Pernah dan sering dikasi alternatif supaya pake soflens tapi lagi-lagi excuse takut mau masukin soflens-nya ke dalam mata hiiiiy sereeem.

Tapi nih ya setelah sekian lama bertahan cuma mau pake kacamata pas kerja aja atau di depan komputer dan itu pun kadang-kadang malas, akhirnya aku mengalah bikin kacamata baru dan taraaaa mataku udah nggak minus tapi silindernya nambah. Gak apalah asal jangan plus dulu berasa gimana gitu kalo udah plus.

Aku nih mau cerita pas milih-milih frame kacamata, jadi kan sekarang lagi musim tuh kacamata model betty lafea gitu yang framenya segede-gede muka gitu tapi memang kelihatannya kok keren gitu ya dipake orang-orang. Aku pun ikutan kepingin juga rasa-rasanya akhirnya pas ke optik milihnya yang frame gede warna hitam dan coklat tapi ternyata gak cocok di wajahku jadi kayanya wajahku langsung habis tamat finish gitu pas make kacamata model kacamuka gitu. Sementara dalam hati masih tetep kepingin aja pake yang model kaya gitu. Sampe mas-mas optiknya keknya dah suntuk gitu mukanya tapi aku ga peduli tetep aja milih-milih.

Akhirnya setelah nyoba-nyoba lima belasan frame aku memutuskan untuk milih yang itu. Iya yang itu. Nantilah dikasi tau fotonya eceknya ini sok misteri gitu *digetok rame-rameee*.

NEGERI AWANGGA (3)

Bagian tiga

museum kereta api ambarawa, november 2004.

Awangga meletakkan ranselnya di bangku biru yang berderet-deret. Ia letih namun begitu bersemangat. Ia membetulkan letak kacamatanya yang berbingkai hitam, seketika ia ingat bahwa gadis yang saat ini sedang ditunggunya begitu menyukai caranya membetulkan letak kacamata. Hanya sesuatu yang tak begitu penting pun bagi dirinya terlihat menakjubkan. Awang tersenyum-senyum sendiri.

Perjalanannya kali ini tak sebentar. Dari jakarta ia belum pulas benar tidur karena semalaman mengerjakan tugas mata kuliah Biokimia. Namun demi sang gadis tercinta ia rela saja menemuinya di sini. Tempat ketika pertama kali ia menyatakan cinta pada sang gadis. Tempat yang begitu tenang dan menjadi sangat romantis karena momen itu.

Awang melayangkan pandang ke sekeliling, mencoba membunuh beberapa waktu yang harus ia lalui sendiri. gerbong-gerbong tua yang tak terpakai lagi. sudah berapakah umur mereka? dimanakah para masinis yang pernah membawa gerbong itu dulu? masih hidupkah? beberapa tanya menggelayuti pikirnya. Dan rasanya sudah hampir dua jam ia menanti sang gadis di sini. Mengapa belum tiba juga?

Awang meraih telepon genggamnya, menekan dua tuts saja untuk tersambung pada suara indah yang ia rindukan.

Tak tersambung.
Berulang-ulang.

Ia menatap resah ke gerbong terdekat yang ia lihat. Hatinya tersaput awan gelap.

Bagian empat

Ambarawa, November 2004
as long as i live i will love you
i promise you this

Narayana melangkah pelan-pelan sekali. Setelah memastikan Oma telah tertidur lagi selepas berdoa dan menyanyikan kidung pujian. Opa pastilah masih lelap tertidur. Nantinya bila mereka sadar cucu kesayangannya tak ada, Naray akan bilang bahwa ia ke gereja.

Narayana sudah seminggu ini berlibur di rumah Oma Opa nya di kota Ambarawa, tempat ini selalu mengembalikannya pada masa kecil yang indah. Papa dan Mama tak jarang mengijinkan Naray melewatkan beberapa waktu di rumah tua yang masih terawat dan resik. Bahkan tak melarang Naray membawa serta beberapa teman untuk menginap dan menikmati masakan Oma sembari mendengar sang Opa yang rajin menceritakan kisah-kisah sejarah dan kerajaan.

Tak terkecuali Awangga, sang kekasih yang akan ia temui pagi ini. Di tempat pertama mereka menyatukan cinta.

Naray tengah berbunga hatinya, ringan langkahnya, tersaput warna cerah pelangi. Bibir mungilnya menyenandung lagu cinta. Ia tak menyadari decitan ban dari mobil merah yang melaju begitu cepat ke arahnya. Seperti hilang kendali mobil itu mengempas di trotoar setelah sebelumnya menghempaskan tubuh mungil Naray ke bumi.

Langit basah mendatangkan tangis. Gulungan awan seketika mengelabu. Gelap pekat sekeliling pandang.

NEGERI AWANGGA (2)

Bagian dua

Zurich, November 2006

and the sun it shines as it did yesterday

Meski tak keluar dari kamarku yang sempit, hari ini terasa panas. Hari pertama musim semi memang sedikit membakar kulitku. Karena saat ini kulitku tak sebagus dulu. Lebih tipis dan rentan.

Aku tak berniat tinggal lama di kota ini. Zurich dengan jalanan yang padat akan toko berlabel mewah. Prada, Gucci, sumpah mati aku ingin saja mencobanya sesekali. Mencoba membeli? Tentu saja tak perlu. Cukup mengambilnya diam-diam karena mereka tak bisa melihatku.

Tapi untuk apa? Aku toh tak bisa memakainya. Okelah bisa. Tapi tetap sajakan tak ada yang bisa melihat betapa keren aku ketika memakai setelan coat warna coklat selutut plus sepatu booth berwarna sama dengan bahan suede. Tunggu dulu, mungkin topi koboi itu pun bisa kupadukan sekalian.

Tapi kau tentu tak tau apa yang akan kubeli.
Aku tak akan mengambil diam-diam, kali ini aku akan meninggalkan sejumlah euro di meja kasir, karena aku ingin membeli kemeja kotak-kotak biru yang begitu menawan hatiku. Tentu saja sangat pas melekat di tubuh tinggi kurus berkaca mata.

***

Jakarta, November 2006

Aku menatapnya dekat sekali. Mengagumi lekuk-lekuk wajahnya yang ramping, dengan tautan alis yang begitu tebal, mata hitam itu menatapku tajam tanpa kacamata. Ia merasakan kehadiranku. Lalu meraih kacamatanya di meja belajar. Membetulkan letaknya dan sia-sia mencari tau siapa yang ada bersamanya di dalam kamar ini. Aku selalu suka caranya membetulkan letak kacamata.

Tak lama terkaget-kaget melihat sebuah bungkusan kotak biru bersampul kembang dengan pita coklat. ia meraihnya perlahan, membolak-balik, melihat berkeliling dengan cepat. Menutup jendela, dan kembali ke kursinya.

Ketika membuka bungkusan itu, hatiku ingin bersorak melihat pancaran di matanya. Ia begitu kagum dan senang. Okelah aku lupa melepas label harga dan segalanya, lantas ia pun tau bahwa baju pemberianku asli tak beli di mangga dua.

Namun ia memasukkan lagi baju itu ke kotak biru yang kubeli dengan susah payah di gramedia tadi. Lantas meraih hape dan kau tau pasti siapa yang akan dia hubungi.
Aku pergi.

note: cuma bisa bertepuk tangan melihat orang2 yang memenuhi hatinya dengan prasangka buruk itu kini berkolaborasi ck ck ck