Agus menyeka keringat yang mengembun di ujung rambut Dewi. Dia cantik tertidur seperti ini. Lalu ia tersenyum mengingat apa yang mereka lakukan barusan.
Sebenarnya Agus sering merasa bersalah dengan apa yang ia lakukan. Pada istrinya karena ia menduakan Yunita, pada Dewi karena saat ini ia tak mampu memberikan kepastian hubungan. Terutama jika Dewi tau bahwa saat ini Yunita tengah mengandung bayinya tiga bulan. Apa ya yang akan ia katakan? Sementara hubungan mereka telah berjalan hampir dua tahun dan Agus dengan pasti mengatakan bahwa ia mencintai Dewi. Tapi ia pun mencintai Yunita? Bagaimana mungkin cinta bisa dibagi-bagi?
Ia ingin sekali menyampaikan kabar itu pada Dewi, tentang kehamilan istrinya. Kehamilan yang sebenarnya telah ia nantikan sejak empat tahun lalu. Namun baru tiba sekarang ketika ia terpesona oleh kehadiran Dewi, jatuh cinta pada perempuan cantik berkarakter kuat itu. Dewi bukanlah perempuan yang kecantikannya terlihat dari fisik, namun dari kecerdasan otak serta tingkah lakunya. Ia perempuan dengan karakter kuat. Dan itu membuat Agus jatuh cinta.
Terlambat bertemu? Sepertinya itu semacam alasan klise bagi mereka. Yang jelas mereka memang sudah bertemu sekarang dan tertarik satu sama lain. Lalu membiarkan ketertarikan itu mengontrol pikiran sehat mereka untuk melakukan sesuatu yang tidak bertanggung jawab. Sampai kapan? Ya, sampai kapan mereka berdua berada pada situasi seperti ini? Agus tak bisa bergerak, memilih Yunita kembali akan menyakiti hati Dewi dan hatinya juga, sementara ia pun tak mungkin memilih Dewi karena anak yang tengah dikandung Yunita.
Betapa rumitnya jalan hidup manusia, pikirnya.
Dewi menggeliat sedikit, matanya terbuka. Ia melihat Agus yang tersenyum memandanginya.
“Sudah sore sayang, aku harus segera pulang,” sahutnya. Ia menarik tubuh Dewi ke arahnya, mereka kembali berciuman.
“Sudah, kamu pulang aja sekarang.” Dewi mendorong tubuh Agus menjauhinya. Ia selalu merasa seperti ini ketika Agus akan pulang. Sedih karena sadar bahwa Agus bukanlah miliknya dan akan kembali ke pelukan istrinya.
Agus beranjak dari tempat tidur, menuju ke kamar mandi. Setelah merapikan diri ia pamit pada Dewi di ruang depan.
Meski selalu kecewa dan sedih saat berpisah, Dewi berusaha untuk tersenyum di hadapan Agus. Ia mengantar Agus sampai pintu depan saja, melambaikan tangannya saat mobil Agus meninggalkan pekarangan rumah, lalu menggeser pagar besi dan menguncinya.
Saat-saat seperti ini rasanya ia ingin menangis karena bahagia dan luka.
Ada berapa perempuan yang merasakan hal seperti diriku? Semoga hanya aku saja, sahutnya dalam hati.
***
Cuplikan dari novel Tiga Puluh Tahun-ku yang belum tau kapan terbitnya