[Book Review]: Sang Burung Biru-Perjalanan Inspiratif Blue Bird Group

Started on: Saturday June 2nd, 2012

Finished on: Sunday June 3rd, 2012

Title: Sang Burung Biru

Writer: Alberthiene Endah

Publisher: Gramedia Pustaka Utama

Pages: 376 pages

Price: Rp. 60,000

“Jangan pernah merasa bahwa hidup berhenti karena kondisi yang sulit. Kehidupan bercahaya bisa kita ciptakan jika hati, pikiran, dan energi kita mau bergerak dalam semangat yang positif”

Dalam sejarah hidup, saya belum pernah membaca buku tentang sebuah brand ataupun biografi dari orang-orang sukses. Tapi suatu hari saya mendapat undangan dari Blue Bird Group untuk menghadiri launching buku Sang Burung Biru yang merupakan kisah inspiratif perjalanan brand Blue Bird dari awal berdirinya sehingga mencapai usia 40 tahun saat ini.

Sebagai seorang pelanggan setia taksi Blue Bird, saya tentunya tidak merasa keberatan menghadiri undangan ini, tetapi di dalam pikiran saya belum sedikitpun terbayang bahwa brand Blue Bird adalah sebuah brand yang ternyata dibangun dengan penuh perjuangan. Bahkan saat saya tiba di lokasi acara yaitu di atrium fx mall saat itu dan memegang bukunya yang merupakan salah satu hadiah untuk tamu, saya masih menganggap bahwa isi buku mungkin hanya teori dan sebuah pencitraan.

Tetapi kemudian, saya membaca buku ini.

Kisah dimulai dengan sebuah taksi muda yang menganggap bahwa hidupnya di jalanan sebagai taksi begitu sulit, ia pulang ke pangkalan taksi dengan tubuh yang lelah dan mengeluh bahwa begitu banyak cobaannya sebagai taksi. Seharusnya dengan nama besar Blue Bird ia dapat memperoleh kemudahan dan kesenangan begitu saja.

Taksi tua yang berada di sana sejak awal berdiri Blue Bird Group kemudian mengatakan bahwa kebesaran dan kemegahan perusahaan ini tidak diraih dengan gampang dan iapun memulai kisah perjuangan dari para pendiri Blue Bird Group.

Tahun 1965, Ibu Djoko yang memiliki nama lengkap Mutiara Siti Fatimah Djokosoetono, SH begitu terpukul dengan kenyataan bahwa suami tercintanya Prof. Djokosoetono, SH yang merupakan Gubernur PTIK dan PTHM meninggalkan dirinya bersama tiga orang anak mereka Chandra Suharto, Mintarsih Lestari dan Purnomo Prawiro.

Sebelum kepergian Pak Djokosoetono, hidup mereka pun tidaklah mudah. Dengan gaji kecil pegawai negeri dari mereka berdua, Bu Djoko dan keluarga harus melalui hidup yang sangat sederhana meski mereka tinggal di kawasan elit di jalan HOS Cokroaminoto Menteng. Bu Djoko yang semasa kecil memang terdidik hidup sangat sederhana dan tabah menemukan ide untuk menambah penghasilan keluarga mereka dengan berjualan batik dan kemudian berjualan telur.

Namun kepergian kepala rumah tangga tentulah berat bagi seorang istri apalagi dengan tiga orang anak yang harus ia tanggungjawabi. Bu Djoko yang penuh semangat itu pun sempat redup semangatnya dengan kepergian suami tercinta. Meski saat itu bisnis telur mereka tengah berjalan baik namun pastilah tak mampu menopang hidup keluarga mereka.

Tak berapa lama setelah kepergian Pak Djoko, PTIK dan PTHM memberi kabar menggembirakan karena mereka mendapatkan hadiah dua buah mobil bekas sedan Opel dan Mercedes. Meski masih dalam suasana duka yang kental, bu Djoko dan anak-anaknya menyambut hadiah ini dengan rasa syukur.

Chandra, Mintarsih dan Purnomo sempat khawatir dengan ibu mereka, apakah beliau akan patah semangat karena kepergian ayah mereka dan apakah bisnis telur mereka akan terus berjalan? Namun ternyata kekhawatiran mereka tidak berlangsung lama karena Bu Djoko yang penuh semangat tak pernah membiarkan dirinya jatuh dalam kesedihan terlalu lama. Ia pun menyatakan sebuah ide cemerlang di hadapan ketiga anak-anaknya.

“Anak-anakku, sepeninggal ayah kalian ibu harus lebih gesit mencari nafkah. Bisnis telur akan terus kita jalankan namun ibu punya satu ide lagi semoga kalian semua setuju. Ibu akan menjadikan dua sedan kita sebagai taksi”.

Ternyata kalimat itu menjadi awal lahirnya sebuah perusahaan besar bernama Blue Bird Group.

Setelah memikirkan semua aspek penting dalam bisnis menjalankan taksi, mulai dari pengemudi, sistem tarif, pemeliharaan mobil dan mesin dan hal-hal lain, Bu Djoko pun mempresentasikan ide bisnisnya.

Ia mewawancarai langsung calon pengemudi, mengetes dengan cara berkeliling dengan mobil. Ia pun memberikan pengarahan kepada semua anggota keluarga bahkan pembantu di rumah karena mereka menggunakan layanan telepon untuk pemesanan taksi.

Bu Djoko selalu mengingatkan untuk menjaga pelayanan kepada pelanggan, kondisi mobil harus bersih, harum demikian pula sopirnya harus dalam keadaan rapi, sopan dalam berbicara dan mengemudikan mobil.  Semua itu ia pikirkan dengan membayangkan bila dirinya menjadi penumpang.

Dengan gencarnya Bu Djoko mempromosikan usaha taksinya serta pelayanan yang selalu baik dari pengemudi maupun teamnya di rumah maka bisnis taksi mereka pun menjadi populer dan dikenal dengan kualitasnya. Taksi mereka kemudian disebut dengan Taksi Chandra yang kebetulan diambil dari nama Chandra putra pertama Bu Djoko karena Chandra yang paling sering mengangkat telpon untuk orderan taksi.

Seiring berjalannya waktu bisnis taksi Chandra pun terus mengalami kemajuan, order taksi meningkat dan menghasilkan keuntungan. Meski demikian Bu Djoko dan anak-anaknya tetap hidup dalam kesederhanaan. Keuangan tetap dijaga dengan ketat dan dicatat untuk kepentingan bisnis semata sebab dengan semakin tingginya permintaan pasar, Bu Djoko dituntut untuk terus menambah armada taksinya demikian pula pengemudi dan karyawan lainnya.

Selama menjalankan bisnis ini Bu Djoko didukung penuh oleh ketiga anaknya, Chandra yang banyak mengurusi operasional saat itu karena Purnomo masih duduk di bangku kuliah.

Pada tahun 1972, akhirnya bisnis taksi Bu Djoko berhasil mendapatkan ijin resmi dan lahirlah nama taksi Blue Bird yang diambil dari sebuah kisah inspiratif tentang burung biru yang selalu diingat Bu Djoko sejak kecil. Kisah ini berasal dari sebuah film berjudul “Bird of Happiness” yang sangat terkenal di Hollywood.

Pencapaian ini ternyata bukanlah sebuah puncak bagi Bu Djoko dan keluarganya, namun justru ini merupakan awal dari sebuah perjuangan berat untuk mencapai kesuksesan lainnya.

Apakah mereka mampu memenuhi jumlah minimal 100 taksi sebagai sebuah perusahaan taksi resmi? Apakah Bu Djoko dan anak-anaknya juga tetap mampu memberikan pelayanan terbaik melalui pengemudi dan kualitas mobil mereka? Bagaimana pergolakan dan perdebatan yang terjadi dengan sistem meter yang terus mereka pertahankan? Dan bagaimana kondisi keluarga yaitu anak-anak dan cucu-cucu Bu Djoko sebagai penerus generasi selanjutnya yang akan mengelola perusahaan ini?

***

Buku ini adalah buku motivasi terbaik sepanjang aku membaca banyak buku motivasi. Padahal sebenarnya buku ini adalah kisah sejarah berdirinya perusahaan besar Blue Bird Group. Semangat dan tekad kuat seorang ibu begitu terasa dalam setiap perjalanan ceritanya.

Ada nilai-nilai hidup yang diselipkan oleh ibu Djoko yaitu keuletan, perasaan positif, niat yang baik,  serta komitmen melayani dengan baik. Kejujuran adalah kunci dari kepercayaan.

 

“Saya melihat masa depan yang cerah dalam usaha ini. Mari kita terus berpegangan tangan. Kita melangkah bersama-sama dengan tujuan dan harapan baik. Ikuti petunjuk saya dan bekerjalah dengan penuh komitmen. Masa depan kita ada pada cara-cara bekerja baik yang kita lakukan hari ini”

Kalimat itu adalah sebuah penyemangat dari Bu Djoko untuk anak-anak, cucu-cucu, pengemudi dan seluruh karyawannya. Kalimat ini kemudian menjadi pedoman bagi mereka untuk terus membangun Blue Bird sehingga mencapai keberhasilan hingga saat ini.

Alberthiene Endah, sang penulis menuturkan keseluruhan cerita dengan begitu apik dan indah. Sebelumnya saya tak pernah mencoba membaca buku karya beliau yang ternyata sudah begitu banyaknya, namun saya sudah sering mendengar tentang aktifnya mba Alberthiene Endah yang sering disingkat AE saja ini menulis.

Namun ada yang kurang dari kesempurnaan buku ini, yaitu cover bukunya yang tidak menarik. Mungkin akan lebih menyenangkan mata bila cover dibuat lebih cerah tanpa menghilangkan logo dan warna Blue Bird di dalamnya.

Saya sangat beruntung bertemu langsung dengan penulis buku ini dan juga orang-orang yang ada di belakang nama besar Blue Bird. Ketika bertemu dan melihat langsung Bapak Purnomo anak dari almarhum Ibu Djoko dan cucunya ibu Noni Purnomo, rasanya saya percaya bahwa kesederhanaan hidup yang telah diajarkan oleh Bu Djoko memang terus melingkupi mereka.

 

Belum pernah saya membaca sebuah buku dengan mata berkaca-kaca sejak awal hingga akhir cerita. Buku ini tak hanya membangkitkan emosi saya, sebab sebagai single parent yang jarang mengeluh ternyata ketabahan saya tak ada apa-apanya dibandingkan sosok Ibu Djoko. Saya sangat beruntung bisa mendapatkan spirit dari beliau melalui buku ini.